Baik buruknya seseorang sangat tergantung pada hatinya. Jika hatinya lurus, maka perilakunya juga baik, begitu juga sebaliknya. Oleh karena itu, sepantasnya seseorang selalu memperhatikan dan memperbaiki hatinya, jika dia menginginkan kebaikan untuk dirinya dan orang lain.
Pada edisi ini, akan disampaikan beberapa macam hati manusia, semoga bisa menjadi panduan dan pengingat untuk memperbaiki hati. Hanya kepada Allâh Azza wa Jalla kita memohon pertolongan.
Hati manusia itu bermacam-macam. Ada qalbun salîm (hati yang selamat; sehat); qalbun mayyit (hati yang mati); dan qalbun marîdh (hati yang sakit). Inilah sedikit perincian tentang hal ini.
HATI YANG SEHAT(QALBUN SALIM)
Orang-orang yang memilik hati ini akan selamat pada hari kiamat, sebagaimana firman Allâh Azza wa Jalla:
يَوْمَ لَا يَنْفَعُ مَالٌ وَلَا بَنُونَ ﴿٨٨﴾ إِلَّا مَنْ أَتَى اللَّهَ بِقَلْبٍ سَلِيمٍ
(Yaitu) di hari harta dan anak-anak laki-laki tiada lagi berguna, kecuali orang-orang yang menghadap Allâh dengan hati yang bersih. [Asy-Syu’ara’/26: 88-89].
Disebut qalbun salîm (hati yang selamat; sehat) karena sifat selamat dan sehat telah menyatu dengan hatinya. Di samping, ia juga merupakan lawan dari hati yang sakit.
Beragam penjelasan tentang makna qalbun salîm, namun semuanya terangkum dalam penjelasan berikut. Qalbun salîm adalah hati yang bersih dan selamat dari berbagai syahwat yang berseberangan dengan perintah dan larangan Allâh; Bersih dan selamat dari berbagai syubhat yang menyelisihi berita-Nya. Ia selamat, tidak menghambakan diri kepada selain-Nya, tidak menjadikan hakim selain Rasul-Nya; Bersih dalam mencintai Allâh Azza wa Jalla dan dalam berhakim kepada Rasul-Nya; Bersih dalam rasa takut dan berharap kepada-Nya, dalam bertawakal kepada-Nya, dalam bertaubat kepada-Nya, dalam menghinakan diri di hadapan-Nya, dalam mengutamakan mencari ridha-Nya di segala keadaan dan dalam menjauhi kemurkaanNya dengan segala cara.
Inilah hakikat penghambaan (ubudiyah) yang tidak boleh ditujukan kecuali kepada Allâh semata.
Jadi, qalbun salîm adalah hati yang selamat dari perbuatan syirik. la hanya mengikhlaskan penghambaan dan ibadah kepada Allâh semata, baik dalam kehendak, cinta, tawakal, inâbah (taubat), merendahkan diri, khasyyah (takut), raja’ (pengharapan). Ia juga mengikhlaskan amalnya untuk Allâh semata. Jika ia mencintai maka ia mencintai karena Allâh Azza wa Jalla . Jika ia membenci maka ia membenci karena Allâh Azza wa Jalla . Jika ia memberi maka ia memberi karena Allâh Azza wa Jalla . Jika ia menolak maka ia menolak karena Allâh Azza wa Jalla .
Namun ini saja tidak cukup, dia juga harus selamat dari ketundukan serta hanya berhakim kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Ia harus mengikat hatinya dengan kuat untuk mengikuti Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam ucapan atau perbuatan. Dia menjadikan apa yang dibawa oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadi hakim bagi dirinya dalam segala hal, dalam masalah besar maupun kecil. Sehingga dia tidak mendahuluinya, baik dalam kepercayaan, ucapan maupun perbuatan. Allâh Azza wa Jalla berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allâh dan Rasul-Nya. [Al-Hujurat/49: 1]
Artinya, janganlah kamu berkata sebelum Nabi berkata! Janganlah kamu berbuat sebelum Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan!
Sebagian orang Salaf berkata, “Tidak ada suatu perbuatan -betapa pun kecilnya- kecuali akan dihadapkan pada dua pertanyaan: Kenapa dan bagaimana?” Maksudnya, mengapa engkau melakukannya dan bagaimana kamu melakukannya? Soal pertama menanyakan tentang sebab perbuatan, motivasi dan faktor yang mendorongnya;
Apakah sebab perbuatannya adalah tujuan duniawi untuk kepentingan pelakunya, untuk mendapatkan pujian orang atau takut celaan mereka, agar dicintai atau tidak dibenci.
Ataukah motivasi perbuatan tersebut untuk melakukan hak ubudiyah (penghambaan), mencari kecintaan dan kedekatan kepada Allâh Azza wa Jalla .
Inti pertanyaan pertama adalah apakah kamu melaksanakan perbuatan itu untuk Rabbmu ataukah untuk kepentinganmu dan hawa nafsumu sendiri?
Inti pertanyaan kedua merupakan pertanyaan tentang mutâba’ah (mengikuti) Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam soal ibadah tersebut. Dengan kata lain, apakah perbuatan itu termasuk yang disyariatkan melalui lisan Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ataukah tidak disyariatkan?
Pertanyaan pertama tentang keikhlasan dan yang kedua tentang mutâba’ah kepada Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam , karena sesungguhnya Allâh Azza wa Jalla tidak menerima suatu amalan pun kecuali dengan dua syarat tersebut.
Jalan untuk menyelamatkan diri dari pertanyaan pertama adalah dengan memurnikan keikhlasan dan jalan untuk membebaskan diri dari pertanyaan kedua yaitu dengan merealisasikan mutâba’ah dan menyelamatkan atau menjaga hati dari keinginan yang menentang ikhlas dan hawa nafsu yang menentang mutâba’ah.
Inilah hakikat hati yang selamat yang menjamin keselamatan dan kebahagiaan.
HATI YANG MATI
Hati yang mati, hati yang kosong dari kehidupan. Ia tidak mengetahui Rabbnya, apalagi beribadah kepada-Nya. Ia selalu menuruti keinginan nafsu dan kesenangan dirinya, meskipun akibatnya ia akan dimurkai dan dibenci Allâh Azza wa Jalla . Ia tidak peduli dengan apapun, yang penting bagi dia adalah keinginan dan syahwatnya terpenuhi. Ia menghambakan diri kepada selain Allâh, dalam cinta, takut,
berharap, ridha dan benci, pengagungan dan kehinaan. Jika ia mencintai, ia mencintai karena hawa nafsunya. Jika ia membenci, ia membenci karena nafsu. Jika ia memberi, ia memberi karena nafsu. Ia lebih mencintai dan mengutamakan hawa nafsunya daripada keridhaan Rabbnya. Hawa nafsu menjadi pemimpinnya, syahwat komandannya, kebodohan adalah sopirnya, kelalaian adalah kendaraannya. Ia terbuai dengan pikiran untuk mendapatkan tujuan-tujuan duniawi, mabuk oleh hawa nafsu dan kesenangan semu.
Ia tidak mempedulikan orang yang memberi nasihat, ia terus mengikuti setiap langkah dan keinginan setan. Dunia terkadang membuatnya benci dan terkadang membuatnya senang. Hawa nafsu membuatnya tuli dan buta.
Maka membaur dengan orang yang memiliki hati semacam ini. Bergaul dengannya adalah racun dan menemaninya adalah kehancuran.
HATI YANG SAKIT
Yang ketiga adalah hati yang hidup tetapi sakit. Ia memiliki dua unsur yang saling tarik-menarik. Ketika ia berhasil memenangkan pertarungan itu, berarti di dalam hatinya sedang ada rasa cinta kepada Allâh, keimanan, keikhlasan dan tawakal kepada-Nya. Itulah nutrisi kehidupan hati. Di dalam hati yang sakit juga ada kecintaan kepada nafsu, keinginan dan usaha keras untuk mendapatkannya, dengki, takabbur, bangga diri, cinta jabatan dan membuat kerusakan di bumi. Inilah unsur yang menghancurkan dan membinasakan hati. Ia diuji oleh dua penyeru, yang satu menyeru kepada Allâh Azza wa Jalla dan Rasul-Nya serta hari akhirat, sedang yang lain menyeru kepada kenikmatan sesaat. Dan ia akan memenuhi salah satu di antara yang paling dekat dari dirinya.
KEADAAN TIGA HATI
Hati yang pertama selalu tawadhu’, lemah lembut dan sadar. Hati yang kedua adalah kering dan mati. Hati yang ketiga hati yang sakit; ia bisa lebih dekat kepada keselamatan atau kepada kehancuran. Allâh Azza wa Jalla menjelaskan ketiga jenis hati itu dalam firman-Nya:
وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَسُولٍ وَلَا نَبِيٍّ إِلَّا إِذَا تَمَنَّىٰ أَلْقَى الشَّيْطَانُ فِي أُمْنِيَّتِهِ فَيَنْسَخُ اللَّهُ مَا يُلْقِي الشَّيْطَانُ ثُمَّ يُحْكِمُ اللَّهُ آيَاتِهِ ۗ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ ﴿٥٢﴾ لِيَجْعَلَ مَا يُلْقِي الشَّيْطَانُ فِتْنَةً لِلَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ وَالْقَاسِيَةِ قُلُوبُهُمْ ۗ وَإِنَّ الظَّالِمِينَ لَفِي شِقَاقٍ بَعِيدٍ ﴿٥٣﴾ وَلِيَعْلَمَ الَّذِينَ أُوتُوا
الْعِلْمَ أَنَّهُ الْحَقُّ مِنْ رَبِّكَ فَيُؤْمِنُوا بِهِ فَتُخْبِتَ لَهُ قُلُوبُهُمْ ۗ وَإِنَّ اللَّهَ لَهَادِ الَّذِينَ آمَنُوا إِلَىٰ صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ
Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu seorang rasul pun dan tidak (pula) seorang nabi, melainkan apabila dia mempunyai sesuatu keinginan, syetan pun memasukkan godaan-godaan terhadap keinginan itu, Allâh menghilangkan apa yang dimasukkan oleh syetan itu dan Allâh menguatkan ayat-ayat-Nya. Dan Allâh Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana, agar Dia menjadikan apa yang dimasukkan oleh syetan itu, sebagai cobaan bagi orang-orang yang di dalam hatinya ada penyakit dan yang keras hatinya. Dan sesungguhnya orang-orang yang zhalim itu, benar-benar dalam permusuhan yang sangat, dan agar orang-orang yang telah diberi ilmu meyakini bahwa al-Qur’an itulah yang haq dari Rabbmu lalu mereka beriman dan tunduk hati mereka kepadanya, dan sesungguhnya Allâh adalah Pemberi Petunjuk bagi orang-orang yang beriman kepada jalan yang lurus.” [Al-Hajj/22: 52-54].
Dalam ayat ini Allâh Azza wa Jalla membagi hati menjadi tiga macam: Dua hati terkena keburukan dan satu hati yang selamat. Dua hati yang terkena keburukan adalah hati yang di dalamnya ada penyakit dan hati yang keras (mati), sedang yang selamat adalah hati orang Mukmin yang merendahkan diri kepada Rabbnya, hati yang merasa tenang dengan-Nya, tunduk, berserah diri serta taat kepada-Nya. Oleh sebab itu, hati terbagi menjadi tiga:
Pertama: Hati yang sehat dan selamat, yaitu hati yang selalu menerima, mencintai dan mendahulukan kebenaran. Pengetahuannya tentang kebenaran benar-benar sempurna, juga selalu taat dan menerima sepenuhnya.
Kedua: Hati yang keras, yaitu hati yang tidak menerima dan taat pada kebenaran.
Ketiga: Hati yang sakit, jika penyakitnya kambuh maka hatinya menjadi keras dan mati, dan jika ia mengalahkan penyakit hatinya maka hatinya menjadi sehat dan selamat.
(Diringkas oleh Ustadz Muslim Atsari dari penjelasan Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah dalam kitab Ighâtsatul Lahfân)